Translate

Thursday, December 24, 2015

Para Penyendiri

Kami tak pernah memilih ini. Boleh dibilang keadaannya memang begini.  Sudah biasa.
Bila bumi selalu berdekatan mesra dengan bulan. Phobos dan Beimos setia bersama Mars.
Maka kami takkan mampu mempertahankan keberadaan satelit lainnya bersama kami. Mereka takkan bertahan lama.

Gravitasi matahari yang besar dan gaya pasang surut kami menghancurkan satelit lain yang berada di dekat kami. Kami adalah Merkurius dan Venus. Kami tak punya satelit satelit yang menemani. Kami adalah planet- planet kesepian. Tapi harus ada yang bernyali tinggi merapat pada si raksasa pemberi sumber panas ini.




                   
Ecleticeccentricity.bigcartel.com

etsy

Sunday, August 16, 2015

Menjelang 17 Agustus

Teringat saat kau usap
Peci orange dan batik kebesaranmu
Menyemir sepatu hingga hitam mengkilap
Dan celotehan bangga akan masa lalu
Takzim kau semat lencana lencana kecil
Disela cerita romansa percintaanmu
Mulutmu tersenyum
Undangan besar tak lagi datang
Namun dimanapun tempatnya
Kau pasti datang menghormat
Selamat hari kemerdekaan
Terima kasih untukmu yang dirindu
Terima kasih pada para pejuang
Terima kasih pada para veteran
Terima kasih pada para  pendahulu negri



(Profil anggota legiun veteran RI/foto Antara/Syaiful Bahri)

Tuesday, June 16, 2015

Grow Old Together



Pada saatnya nanti
Akankah kau mengecup guratan ini
Akankah kau tetap tersenyum menyiapkan kopi
Akankah kau tetap bergayut mesra dilenganku

(Sang lelaki)

Monday, May 18, 2015

Layaknya Hujan Tanpa Aroma

Puisi ini saya peruntukkan kepada sahabat saya. Sang pemeran. Orisinil dan cerdas dan beberapa waktu lalu pamit. Katanya ingin melukis. Dan belum2 saya sudah rindu. Tapi puisi ini juga mewakilkan yang lain. Yang tak akan saya ceritakan.


Layaknya Hujan Tanpa Aroma


Hujan yang turun
Menggiring ingatanku padamu
Katamu kau suka hujan
Dan lihat sekarang
Milyaran tetes air tumpah
Namun tanah basah enggan menebar aroma
Tidakkah kau tahu
Aroma yang hilang dari tanah yang terguyur hujan
Mematikan hasrat sang pluviophille
Dan  keengganan menampilkan perananmu
Membunuh gairahku memahamimu


( kepada sang pemeran )





Wednesday, May 13, 2015

KISAH ANJING DAN KUCING


Kemarin sepulang kerja sempet tersentuh lihat kucing
guling2an dengan anjing.  So cuuuuuuute. Nggak terlalu aneh siy. karena kucing dan anjing bersahabat bukan cerita baru. Buanyak banget.  

Lucunya kalau ada orang bertengkar, ada yg pake istilah kayak anjing sama kucing. Bertengkar terus. Mungkin istilah itu perlu diganti. 

Mengamati bahwa seekor binatangpun memiliki karakter khas, bahwa dalam keseharian ternyata manusiapun memiliki karakter yang sama dengan mereka. Disadari atau tidak.

jadiiii liburan ini, saya jd kepingin cerita tentang anjing dan kucing. 

KISAH ANJING DAN KUCING




Kita adalah anjing dan kucing
Kaulah kucing
Dan aku anjing

Kita disatukan dengan perbedaan
Kau si manja pemalas kesayangan para tuan
Aku sang penunggu rumah kerap kali dimaki

Kerjamu makan, tidur dan bermain
Kerjaku menjaga keamanan majikan
Dan lihat siapa yg selalu dipeluknya?

Kita adalah anjing dan kucing
Kau binatang kesayangan
Aku binatang piaraan

Kita tinggal dirumah yang sama
Dirawat dengan majikan yang sama
Diperlakukan secara berbeda

Saat ada ancaman aku  lantang membelanya.
Sedang kau acuh atau lari kepelukannya
Dan sampai mati aku tetap dianggap najis

Sungguhpun demikian Kita saling menyayangi
Menjalani hidup sebagaimana seharusnya
Kau kucing dan aku anjing

Bagaimanapun perbedaan yang kita terima
Satu hal yang sama kita tahu
Kita dicintai dengan cara yang berbeda


Tuesday, May 12, 2015

PELUK

(Untuk kamu yang tafakur bertasbih
digelap malam)


Ijinkan aku memelukmu
Tanpa suara
Lama dan lekat
Menyerap rasa sakitmu
Biarlah larut dijiwaku

Ijinkan aku memelukmu
Kubawa pulang lukamu
Agar nyenyak tidurmu
Damai duniamu
Indah mimpimu



Monday, December 29, 2014

Layat Menyambut Lara

Cerita ini tadinya tanpa ending.alias belum selesai. Nyempil diantara konsep cerita lain yang masih setengah jadi. Berhubung 22 desember hari ibu kepingin posting sesuatu yg  berhubungan dengan sosok ibu. Postingannya telat banget emang(huff) .
Pinginnya, cerita ini punya efek yang mengharu biru. Tapi kalau pas dibaca gagal melow, ya nggak masalah juga. Hemat tissue kan.



Layat Menyambut Lara

" Kamu itu cantik"Aku rasakan tangannya membelaiku. Kemudian tangannya kembali bekerja.
" Kau juga, cantik."Balasku.
"Kita harus mengumpulkan banyak uang. Demi kamu". Tangannya kembali mengelus.Aku merasa tentram.
" Jangan khawatir, aku akan membalasnya kelak, Sekarang aku mau tidur."
"Tidurlah." KatanyaSamar aku mendengarkan senandung ibu. Ah, damainya. Suara itu mulai hilang timbul. Hingga akhirnya lenyap di pendengaranku.

Aku mungkin tertidur lama. Sampai suara rusuh mengusikku.
" Mana uangnya!"Suara ayah,batinku.
Ibu tengah berbaring sejenak.Setelah seharian tadi menjadi buruh setrika.
" Tidak ada! Kita punya keperluan yang lebih penting,  ketimbang kopi dan rokok. Pakai uangmu sendiri."
" Pelit benar kamu.!"
" Kita harus berhemat untuk anak kita " Suara ibu terdengar geram.
" Huh!"Pintu kamar dibanting. Ibu menghela nafas.
 " Ayahmu banyak berubah semenjak kehilangan pekerjaannya. "
Ibu bangkit dan menggeret dingklik dengan kakinya..
" Apa yang kau lakukan?"
" Kita harus menyembunyikan uang ini."
"Mengapa?"Ibu terdiam. Seolah takut menceritakan kebenaran.
" Ayahmu,  kini tak segan mencuri uang ibu.  "

Aku marah. Tanganku meninju kesamping. Ibu tersentak, tapi kemudian membelaiku.

" Kelak jika kau dewasa jangan biarkan dirimu menjadi sapi perah  lelaki. "
Aku terdiam. Lebih karena  Keheranan, karena dirinya mampu bertahan dengan ayah.
Ibu menaiki  dingklik kecil demi mencapai atap lemari. Ia menggapai sebuah kotak sepatu dan meletaKkan uangnya disitu. Menghitungnya lantas berusaha  mengembalikan cepat-cepat.

Namun dingklik bergoyang menahan bobot ibu. keseimbangannya goyah.Sekejap ia terjatuh.
"Braakk!!" Kotak sepatu berserakan. Ayah menyerbu masuk

" Astaga!! Dasar perempuan pedit. Itu akibat tidak mau berbagi  dengan suami." Bentaknya.

Aku merasa kesal. Tega sekali ayah. Setengah mati ibu mengumpulkan uang untukku dengan kondisinya yang seperti itu. Aku sangat kesal. Rasa sakit yang juga kurasakan  juga memicu amarahku.

" Jangan hina ibu!"

Wajah ayah memucat. Wajah ibu meringis kesakitan.  Sesuatu mengalir di kedua kakinya.Ayah berlari keluar kamar. Aku kesal.
Bagus. Disaat seperti ini dia malah lari meninggalkan ibu. Aku semakin tak tenang. Aku harus keluar.Ibu merintih. Aku bingung.

"Apa yang harus aku lakukan,bu?"
Ibu mulai bernafas aneh. Setelah itu seperti meraung.

" Ibu, apa yang harus aku lakukan?"
Ibu tetap tak menjawab.Bernafas aneh lalu seperti meraung.

Darah .. Ada darah..Aku bergerak perlahan.

" Ibu, aku takut."
Ibu bernafas aneh dan kembali seperti meraung.

"Tolong jangan bersuara seperti itu,bu. Baiklah, aku akan jadi anak manis. Dan tetap disini, tapi tolong segera hentikan sikap anehmu."

Ibu masih bersikap aneh.  Aku membelainya.Berharap ibu baik- baik saja. Kemana sih, ayah? Pertanyaanku dijawab  raungan ibu lagi.
 Syukurlah kecemasanku tak lama, karena ayah kembali bersama dua orang  perempuan yang sering ditemui ibu. Aku lihat beberapa orang lain ikut serta, tapi mereka menunggu di luar kamar.

"Aku tadi melihat darah!" Teriak ayah panik.
 " Tenang, jangan takut. " Hibur perempuan  itu. Dia mulai memberi intruksi pada perempuan lainnya.Ibu tampak kesulitan bernafas. Disisinya ayah menangis sambil meminta maaf.

" Ayah, jangan berisik!"Teriakku.
Ibu meraung lagi.Aku merasa didorong.
" Ibu kau tidak apa2 kan? Jawab bu?!"
Ibu mulai bernafas aneh.Dan meraung lagi.Aku merasa sangat tidak nyaman.
"Ibu..aku takut.."

" Jangan nakal nak. Cepat keluar dari situ." Seru si perempuan yang datang bersama ayah.

Aku mendengar ibu meraung lebih kencang dari sebelumnya. Mungkin perempuan itu benar, aku harus keluar.Ibu meraung lagi. Teriakannya lebih kencang dan lebih panjang. Ya.. Ya sekarang. Aku harus keluar dari tempatku, SEKARANG!!

Perempuan ini menangkap aku dan sepertinya tahu benar apa yang harus dikerjakan. Aku menjerit selantang yang aku bisa.
Mana ibu? Aku mau ibu. Aku kehilangan suara ibu. Suara apa itu? Tangis ayah. Tangisku bersahutan dengan tangis ayah.

"Dia sangat cantik"Perempuan ini menyerahkan aku pada ayah.

" Berikan aku pada ibu!" Teriakku.Ayah tetap menangis. Membisikkan sesuatu dikedua telingaku. Airmatanya tertinggal di telingaku.

 "Terima kasih, bu bidan. Syukurlah bayinya masih selamat."
Aku menangis.

"  Berikan aku pada ibu! Aku mau melihat ibu."
Mereka malah membawaku menjauhi ibu. Aku sempat lihat  orang datang bergantian mengerumuni  ibu. Kesibukan  datang silih berganti. Bahkan tangisanku, tak menyurutkan irama kecepatannya.Sesekali ada yang datang menenangkan aku, usaha yang sia-sia. Aku melihat bagaimana mereka menggotong ibu beramai ramai. Dan membawanya pergi.

"Mau kalian bawa kemana ibu? Dia bahkan belum menatapku! Belum menciumku layaknya seorang ibu!"

Mereka tak menghiraukanku.Ayah bahkan menyerahkan aku kembali pada bu Bidan.Tangisku memekik. Mengapa mereka tak peduli permintaanku. Sebegitu beratkah,permintaanku?

" Ayah, aku ingin melihat ibu."Ayah hanya menatapku pilu dan segera berlalu.

"Kasian" kata asisten bidan
"Ibunya ingin memberinya nama Lara. Larasati." Kata seorang tetangga.
" Semoga ayahnya membiarkannya menyandang nama itu. Cuma itu peninggalan ibunya" jawab bu Bidan.

"Apa maksud kalian?? Kemana mereka membawa ibu?"Mataku berusaha mencari jejak bayangan ayah yang tertinggal di celah pintu.

"Keterlaluan! Aku cuma ingin melihat ibu. Mencium dirinya. Menanam sedikit ingatan tentangnya. Apakah itu berlebihan?"

Mereka tak menjawab pertanyaanku. Pintu  tertutup kini. Orang-orang  pergi di iringi tangisanku.  Entah sampai kapan aku sanggup menangis.