Translate

Monday, December 29, 2014

Layat Menyambut Lara

Cerita ini tadinya tanpa ending.alias belum selesai. Nyempil diantara konsep cerita lain yang masih setengah jadi. Berhubung 22 desember hari ibu kepingin posting sesuatu yg  berhubungan dengan sosok ibu. Postingannya telat banget emang(huff) .
Pinginnya, cerita ini punya efek yang mengharu biru. Tapi kalau pas dibaca gagal melow, ya nggak masalah juga. Hemat tissue kan.



Layat Menyambut Lara

" Kamu itu cantik"Aku rasakan tangannya membelaiku. Kemudian tangannya kembali bekerja.
" Kau juga, cantik."Balasku.
"Kita harus mengumpulkan banyak uang. Demi kamu". Tangannya kembali mengelus.Aku merasa tentram.
" Jangan khawatir, aku akan membalasnya kelak, Sekarang aku mau tidur."
"Tidurlah." KatanyaSamar aku mendengarkan senandung ibu. Ah, damainya. Suara itu mulai hilang timbul. Hingga akhirnya lenyap di pendengaranku.

Aku mungkin tertidur lama. Sampai suara rusuh mengusikku.
" Mana uangnya!"Suara ayah,batinku.
Ibu tengah berbaring sejenak.Setelah seharian tadi menjadi buruh setrika.
" Tidak ada! Kita punya keperluan yang lebih penting,  ketimbang kopi dan rokok. Pakai uangmu sendiri."
" Pelit benar kamu.!"
" Kita harus berhemat untuk anak kita " Suara ibu terdengar geram.
" Huh!"Pintu kamar dibanting. Ibu menghela nafas.
 " Ayahmu banyak berubah semenjak kehilangan pekerjaannya. "
Ibu bangkit dan menggeret dingklik dengan kakinya..
" Apa yang kau lakukan?"
" Kita harus menyembunyikan uang ini."
"Mengapa?"Ibu terdiam. Seolah takut menceritakan kebenaran.
" Ayahmu,  kini tak segan mencuri uang ibu.  "

Aku marah. Tanganku meninju kesamping. Ibu tersentak, tapi kemudian membelaiku.

" Kelak jika kau dewasa jangan biarkan dirimu menjadi sapi perah  lelaki. "
Aku terdiam. Lebih karena  Keheranan, karena dirinya mampu bertahan dengan ayah.
Ibu menaiki  dingklik kecil demi mencapai atap lemari. Ia menggapai sebuah kotak sepatu dan meletaKkan uangnya disitu. Menghitungnya lantas berusaha  mengembalikan cepat-cepat.

Namun dingklik bergoyang menahan bobot ibu. keseimbangannya goyah.Sekejap ia terjatuh.
"Braakk!!" Kotak sepatu berserakan. Ayah menyerbu masuk

" Astaga!! Dasar perempuan pedit. Itu akibat tidak mau berbagi  dengan suami." Bentaknya.

Aku merasa kesal. Tega sekali ayah. Setengah mati ibu mengumpulkan uang untukku dengan kondisinya yang seperti itu. Aku sangat kesal. Rasa sakit yang juga kurasakan  juga memicu amarahku.

" Jangan hina ibu!"

Wajah ayah memucat. Wajah ibu meringis kesakitan.  Sesuatu mengalir di kedua kakinya.Ayah berlari keluar kamar. Aku kesal.
Bagus. Disaat seperti ini dia malah lari meninggalkan ibu. Aku semakin tak tenang. Aku harus keluar.Ibu merintih. Aku bingung.

"Apa yang harus aku lakukan,bu?"
Ibu mulai bernafas aneh. Setelah itu seperti meraung.

" Ibu, apa yang harus aku lakukan?"
Ibu tetap tak menjawab.Bernafas aneh lalu seperti meraung.

Darah .. Ada darah..Aku bergerak perlahan.

" Ibu, aku takut."
Ibu bernafas aneh dan kembali seperti meraung.

"Tolong jangan bersuara seperti itu,bu. Baiklah, aku akan jadi anak manis. Dan tetap disini, tapi tolong segera hentikan sikap anehmu."

Ibu masih bersikap aneh.  Aku membelainya.Berharap ibu baik- baik saja. Kemana sih, ayah? Pertanyaanku dijawab  raungan ibu lagi.
 Syukurlah kecemasanku tak lama, karena ayah kembali bersama dua orang  perempuan yang sering ditemui ibu. Aku lihat beberapa orang lain ikut serta, tapi mereka menunggu di luar kamar.

"Aku tadi melihat darah!" Teriak ayah panik.
 " Tenang, jangan takut. " Hibur perempuan  itu. Dia mulai memberi intruksi pada perempuan lainnya.Ibu tampak kesulitan bernafas. Disisinya ayah menangis sambil meminta maaf.

" Ayah, jangan berisik!"Teriakku.
Ibu meraung lagi.Aku merasa didorong.
" Ibu kau tidak apa2 kan? Jawab bu?!"
Ibu mulai bernafas aneh.Dan meraung lagi.Aku merasa sangat tidak nyaman.
"Ibu..aku takut.."

" Jangan nakal nak. Cepat keluar dari situ." Seru si perempuan yang datang bersama ayah.

Aku mendengar ibu meraung lebih kencang dari sebelumnya. Mungkin perempuan itu benar, aku harus keluar.Ibu meraung lagi. Teriakannya lebih kencang dan lebih panjang. Ya.. Ya sekarang. Aku harus keluar dari tempatku, SEKARANG!!

Perempuan ini menangkap aku dan sepertinya tahu benar apa yang harus dikerjakan. Aku menjerit selantang yang aku bisa.
Mana ibu? Aku mau ibu. Aku kehilangan suara ibu. Suara apa itu? Tangis ayah. Tangisku bersahutan dengan tangis ayah.

"Dia sangat cantik"Perempuan ini menyerahkan aku pada ayah.

" Berikan aku pada ibu!" Teriakku.Ayah tetap menangis. Membisikkan sesuatu dikedua telingaku. Airmatanya tertinggal di telingaku.

 "Terima kasih, bu bidan. Syukurlah bayinya masih selamat."
Aku menangis.

"  Berikan aku pada ibu! Aku mau melihat ibu."
Mereka malah membawaku menjauhi ibu. Aku sempat lihat  orang datang bergantian mengerumuni  ibu. Kesibukan  datang silih berganti. Bahkan tangisanku, tak menyurutkan irama kecepatannya.Sesekali ada yang datang menenangkan aku, usaha yang sia-sia. Aku melihat bagaimana mereka menggotong ibu beramai ramai. Dan membawanya pergi.

"Mau kalian bawa kemana ibu? Dia bahkan belum menatapku! Belum menciumku layaknya seorang ibu!"

Mereka tak menghiraukanku.Ayah bahkan menyerahkan aku kembali pada bu Bidan.Tangisku memekik. Mengapa mereka tak peduli permintaanku. Sebegitu beratkah,permintaanku?

" Ayah, aku ingin melihat ibu."Ayah hanya menatapku pilu dan segera berlalu.

"Kasian" kata asisten bidan
"Ibunya ingin memberinya nama Lara. Larasati." Kata seorang tetangga.
" Semoga ayahnya membiarkannya menyandang nama itu. Cuma itu peninggalan ibunya" jawab bu Bidan.

"Apa maksud kalian?? Kemana mereka membawa ibu?"Mataku berusaha mencari jejak bayangan ayah yang tertinggal di celah pintu.

"Keterlaluan! Aku cuma ingin melihat ibu. Mencium dirinya. Menanam sedikit ingatan tentangnya. Apakah itu berlebihan?"

Mereka tak menjawab pertanyaanku. Pintu  tertutup kini. Orang-orang  pergi di iringi tangisanku.  Entah sampai kapan aku sanggup menangis.