Translate

Sunday, April 20, 2014

Cerita tentang Ibu

Seorang ibu, pencari nafkah tunggal dalam keluarganya, bercerita anak gadisnya,si bungsu telah kabur. Dia yang tak pernah mengeluh apapun di sepanjang hidupnya akhirnya tak mampu menahan diri. Disela tanggung jawabnya menghidupi asap dapur dan kebutuhan sekolah anaknya, dia harus memikirkan cara untuk menemukan anaknya. Sudah beberapa bulan  ini dia pisah rumah dengan suaminya. Suaminya memaksa anak gadisnya tinggal bersama sang ayah, karena waktu luang ayah di rumah akan memudahkan mereka mengawasi si bungsu. Tapi untuk kebutuhan sehari-hari si bungsu tetap si ibu yang memenuhinya.Sementara dia harus menahan diri menceritakan problematika keluarganya terhadap orang lain dan lingkungan terdekatnya. Suaminya malah berkeluh kesah pada semua orang bahwa keluarganya berantakan karena istri yang pergi dari rumah. Pihak sekolah, keluarga dan tetangga menuding bahwa memang ibunyalah yang salah. Jangan terlalu menghakimi. Karena apa yang mereka dengar tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka tidak tahu belasan tahun si ibu  berjuang mencukupi kebutuhan sekolah dan makan anak-anaknya, sebagai buruh cuci setrika dan pekerjaan serabutan halal lainnya. Mereka tidak tahu bahwa si ayah terkadang ringan tangan. Bahkan si ibu menanti belasan tahun untuk berpisah dengan si ayah. Menunggu hingga anak-anak mereka cukup dewasa. Anak-anak mereka bahkan mendukung  si ibu untuk membawa mereka keluar dari rumah. Seorang ibu tetap seorang ibu. Dia akan selalu melindungi dan menyayangi anak mereka.
Semula anak-anak mereka tinggal dengan si ibu. Si ibu menyewa rumah kontrakan kecil. Si Kakak yang sudah tamat SMK mulai mencari pekerjaan sedang si adik yang perempuan tinggal setahun lagi lulus sekolah. Awalnya kehidupan mereka baik-baik saja, hingga si ayah meminta si adik tinggal dengan dirinya. Mulailah kekacauan timbul. Si Adik mulai kabur-kaburan. Si ibu selalu berhasil membujuk si adik untuk pulang. Namun kali ini si adik sudah 2 minggu menghilang. Si ibu merasa hatinya remuk. Kekuatan dalam dirinya timbul tenggelam. Di satu sisi dia harus mencari anak gadisnya. Tapi di sisi lain dia juga harus mencari uang untuk makan mereka sehari-hari.
Minggu pagi si ibu terlihat merenung. Sepiring pisang kipas goreng dan secangkir teh madu tak disentuh olehnya.
"Aku, nggak selera makan"
Kristalan air terlihat disudut mata.
" Makanlah, sedikit. Jangan sampai sakit. Kamu butuh energi. Masih ada si abang yang harus kamu pikirkan."
Si ibu menjawabnya dengan lelehan air mata. Seandainya boleh memilih dia mungkin akan lebih memilih mencari anaknya, dibanding harus menjadi buruh setrika hari ini.

" Ya, tinggal dia sekarang yang jadi penyemangatku. Semenjak cantikku kabur."
Air mata tak pernah terlihat sebelumnya dari si ibu. Di dera kehidupan yang tidak bersahabat , toh dia selalu tersenyum dan tertawa. Menanggapi segala kesulitan dengan candanya yang khas.
Hari ini pertahanannya hancur. Pihak sekolah barusan menelponnya. Si ayah membeberkan semuanya. Menyalahkan si ibu. Tapi tak cukup berani mengatakan bahwa dia sendiri pengangguran yang lebih banyak di rumah ketimbang mencari nafkah. Kepala sekolah menyudutkannya. Ketegaran sang ibu hancur. Akhirnya cerita itu meluncur dari bibirnya. Cerita yang selama ini disembunyikan olehnya untuk menjaga wibawa ayah anak-anak mereka. Biarkan saja si ibu bercerita. Memang tidak seharusnya dia memendam semua rasa sakitnya sendiri. Nyatanya kelegaan sedikit terlihat diwajahnya.

Mendengar cerita si ibu,timbul rasa kesal,  mengapa  si ibu yang layak disalahkan ketika timbul masalah dalam rumah tangga. Kata-kata "Perempuan berada dibalik keberhasilan rumah tangga " disalah artikan untuk mendapatkan pembenaran atas ego suami yang tidak bertanggung jawab. suami adalah imam keluarga. Wajib menafkahi lahir dan batin keluarganya. Sekecil apapun rejeki yang didapatnya. Disini sebaliknya si ibu yang harus banting tulang menafkahi keluarga, harus pula menanggung cap yang buruk dari suami dan lingkungan masyarakatnya.

"Setiap shalat malam,setelah memohon pertolongan dari Allah, aku selalu meminta diampuni oleh Allah karena kegagalanku sebagai ibu"
" Kau bukan ibu yang gagal."
" Orang mencap aku seperti itu"
" Omongan nggak penting nggak perlu didengar."
" Tapi mungkin mereka benar, sebagai manusia aku  nggak luput dari salah"
" Tapi jangan sampai itu menghancurkan kekuatanmu. Orang justru banyak belajar dari kesalahan. Nggak perlu menyalahkan diri sendiri. "
" Aku mencoba tetap kuat. Walau kadang kekuatanku hilang saat mendengar orang mulai menyalahkanku,dan mengatakan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada si bungsu. Aku merasa gak punya semangat hidup. Merasa hidup seperti memusuhi aku. "
"Ingat Filosophy mesin Cuci?"
Si ibu mengangguk.
" Anggap masalah seperti mesin cuci, Dia akan memilin, memutar bahkan memukul dirimu berkali-kali. Untuk menjadikanmu lebih baik dari sebelumnya."

Mereka saling tersenyum .
Sebuah pelukan mengakhiri ceritanya. Hari itu si ibu berencana menyebarkan selebaran bergambar foto anaknya di media massa. Semoga Allah memberi jalan.




   






 

1 comment:

  1. Good..
    by the way, your writing skill is getting improved (i swear to my leather boots!) :)

    Problem is like washing machine, yeaah..
    keeps twisting; keeps rinsing... and we come up with brighter life eventually~

    ReplyDelete